Pada bulan Oktober tahun 1950, Abdullah, yang merupakan cucu dari Raja Ibnu Saud yang memimpin antara tahun 1932 hingga 1953, mengalami kecelakaan serius saat menunggang kuda. Dalam keadaan darurat ini, para dokter menyimpulkan bahwa amputasi adalah satu-satunya solusi untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, situasi semakin pelik ketika permintaan dari seorang dukun yang hadir menimbulkan tanda tanya besar di kalangan keluarga kerajaan.

Kisah ini diceritakan oleh ulama besar Indonesia, Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka, dalam catatan perjalanan hajinya yang berjudul Mandi Tjahaja di Tanah Sutji. Buya Hamka datang langsung ke istana untuk menawarkan bantuannya setelah mendengar berita tentang kondisi Abdullah. Dukun tersebut berani menjamin bahwa amputasi tidak diperlukan, sedangkan para dokter tetap bersikeras bahwa itu adalah satu-satunya pilihan medis yang ada.

Meskipun demikian, setelah menunggu izin untuk prosedur tersebut, datanglah seorang warga dari Palembang yang menawarkan metode pengobatan alternatif. Awalnya, terdapat keraguan dari Sang Raja dan para dokter mengenai efektivitasnya. Namun, dengan keberanian, rotan tersebut diambil dan pengobatan pun dilakukan dengan membaca doa sepanjang prosesnya. Proses ini berlangsung selama tiga hari penuh.

Meskipun Raja Ibn Saud merasa curiga bahwa pengobatan ini mungkin melibatkan sihir yang dilarang di Tanah Suci, warga tersebut menegaskan, “Saya tidak ahli sihir, ini bukan sihir. Yang saya lakukan hanyalah berdoa kepada Tuhan dengan keyakinan penuh.” Mendengar penjelasan tersebut, Raja pun merasa tenang dan memberikan dukungan terhadap metode yang dipilih untuk menyelamatkan Abdullah.

Kisah ini menggambarkan betapa pentingnya kepercayaan dan keyakinan dalam menghadapi situasi kritis. Tindakan baik merangkum pengalaman ini, yang tanpa disadari dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada hanya mengandalkan metode konvensional.