
Ketentuan yang berlaku di bursa mengenai delisting menyatakan bahwa suatu perusahaan terdaftar dapat dihapus dari perdagangan saham jika mengalami suspensi selama minimal 24 bulan. Saat ini, Sritex sedang menghadapi masalah besar dengan defisit modal dan ekuitas negatif, disebabkan oleh liabilitas yang jauh melebihi nilai asetnya. Sebelum masalah keuangan dan perkara hukum menghantuinya, Sritex dikenal sebagai pemimpin industri tekstil di Indonesia.
Di era Orde Baru, Lukminto, pendiri Sritex, berhasil menjadi pemegang tender utama dalam proyek pengadaan seragam pemerintah. Karena kedekatannya dengan pejabat pemerintah dan dominasi pasar, Sritex serta Lukminto meraih banyak keuntungan. Pada 18 Desember 2024, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh SRIL terkait putusan pailit dari Pengadilan Niaga Semarang.
Sejak memulai operasional pabrik pertamanya yang memproduksi kain putih dan berwarna untuk pasar Solo, Sritex semakin melambung tinggi. Menurut terbitan Tempo pada tahun 2013, Sritex dianggap sebagai simbol kekuasaan karena berada di bawah naungan Keluarga Cendana, julukan untuk keluarga mantan Presiden Soeharto. Saham Sritex di pasar modal dihentikan perdagangannya pada 18 Mei 2022, menambah derita perusahaan tersebut.
Sejarah panjang Sritex tidak terlepas dari sosok Haji Muhammad Lukminto yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan Soeharto, presiden kedua Indonesia. Keberadaan Lukminto sering kali dihubungkan dengan pengaruh besar Cendana, termasuk Harmoko, Menteri Penerangan yang juga Ketua Umum Golkar pada masanya. Hal ini memberikan Sritex keuntungan dalam hal pendanaan dan dominasi pasar garmen baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Pada Mei 2023, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan bahwa SRIL terancam delisting karena telah mengalami suspensi lebih dari 24 bulan dan situasi keuangan yang kritis. Dengan putusan MA, status kepailitan Sritex pun menjadi final. Dalam laporan keuangan terbaru pada September 2024, tercatat liabilitas Sritex mencapai US$1,6 miliar, sedangkan ekuitasnya mengalami defisit sebesar -US$1,02 miliar.
Sritex menghadapi beban utang yang sangat berat, dengan utang jangka panjang mencapai US$1,48 miliar. Utang bank merupakan pos terbesar dalam liabilitas jangka panjangnya, mencapai US$829,67 juta. Salah satu dampak dari kondisi ini adalah catatan rugi sebesar US$66,05 juta akibat ketidakmampuan penjualan perusahaan untuk menutup biaya operasional yang membengkak.
Kabarnya, kejaksaan juga telah menangkap Iwan Setiawan Lukminto, Direktur Utama Sritex periode 2014-2023 yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama, pada 21 Mei 2025. Penangkapan tersebut berkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit oleh beberapa bank pemerintah daerah kepada PT Sritex, dengan total utang yang belum dilunasi mencapai lebih dari Rp3,58 triliun. Situasi semakin rumit, terutama bagi aset perusahaan yang tidak dapat dieksekusi untuk menutupi kerugian negara, karena nilainya lebih rendah dari jumlah pinjaman yang diberikan.