Sell in May: Rahasia Investasi yang Menggoda?

Sell in May: Rahasia Investasi yang Menggoda?

Meski penyebab pastinya tak begitu jelas, penurunan volume perdagangan selama bulan-bulan liburan musim panas serta peningkatan arus investasi di musim dingin disebut-sebut menjadi faktor yang membuat kinerja pasar saham antara Mei hingga Oktober berbeda dengan periode November hingga April. Pada Mei 2018, artikel dari Investor's Business Daily mengungkapkan bahwa investor Wall Street yang menjual portofolio sahamnya pada Mei 2016 berpotensi kehilangan sejumlah kesempatan berharga. Hal ini menunjukkan bahwa periode Mei-Oktober sering kali mencatatkan performa negatif di pasar saham, berbanding terbalik dengan periode November-April yang lebih menguntungkan.

Analisis dari Investopedia mencatat bahwa antara tahun 1950 hingga 2013, rata-rata keuntungan dari indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) selama Mei-Oktober hanya sekitar 0,3%. Sebaliknya, selama periode November-April, DJIA mampu memberikan keuntungan yang lebih signifikan, mencapai 7,5%, seperti yang disebut dalam kolom Forbes pada tahun 2017. Sementara itu, berdasarkan laporan Departemen Perdagangan pada 30 April 2025, Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan tahunan sebesar 0,3% akibat lonjakan impor yang terjadi awal masa jabatan kedua Presiden Donald Trump.

Dari riset yang dilakukan oleh analis Bank of America Merrill Lynch, diketahui bahwa secara historis sejak 1928, bulan Juni hingga Agustus merupakan waktu terbaik kedua bagi pasar saham setiap tahunnya. Namun, statistik terbaru menunjukkan bahwa pola musiman ini mungkin tidak lagi relevan. Di Indonesia, meskipun ada teori Sell in May and Go Away yang menyatakan bahwa investor sebaiknya menjual portofolio mereka pada bulan Mei, tingkat akurasinya hanya mencapai 38%, menurut Direktur PT Panin Asset Management, Rudiyanto.

Ini adalah kuartal pertama yang mencatat pertumbuhan negatif sejak Q1 2022, lanjutnya. Teori yang dikenal pula sebagai Halloween Indicator atau Halloween Effect mengindikasikan bahwa investor cenderung menjual portofolio mereka menjelang bulan Mei. Menurut para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones, mereka memprediksi keuntungan sebesar 0,4% setelah PDB naik sebesar 2,4% pada kuartal keempat tahun 2024.

Saat kita meneliti performa historis IHSG dalam 10 tahun terakhir, mayoritas menunjukkan pelemahan pada bulan Mei, dengan penguatan hanya tercatat pada tahun 2015 dan 2020. Hanya 8 dari 21 tahun pengamatan yang terlihat akurat, ungkap Rudiyanto. Di sisi lain, teori yang berkembang dari Sell in May adalah Buy in November, yang terbukti lebih akurat. CNBC Indonesia Research juga mencatat bahwa setelah penguatan IHSG pada Maret-April 2025, ada kemungkinan pasar akan melemah pada bulan Mei, mengingat beberapa sentimen negatif yang mungkin berdampak pada pasar saham selama bulan itu.

Beberapa ekonom Wall Street bahkan memperkirakan pertumbuhan negatif, didorong oleh peningkatan impor yang mendadak sekaligus penurunan dalam belanja konsumen dan pengeluaran federal. Laporan tersebut memberikan sinyal bagi The Federal Reserve menjelang rapat kebijakan mereka. Meskipun angka pertumbuhan negatif dapat mendorong penurunan suku bunga, data inflasi mungkin akan memaksa para pembuat kebijakan untuk berpikir dua kali.

Previous Post Next Post